Kamis, 18 September 2008

Goro-Goro



Goro-goro....
Goro garaning manungsa sak pirang-pirang,
Yen diitung saka tanah jawa nganti bumi sebrang,
Uripe manungsa kena kaibaratake kaya wayang,
Mrana-mrene pikire mung tansah nggrangsang,
Nanging keri-kerine mung oleh wirang.
Goro-goro.....
Wolak-walike jaman menungsa kakean dosa,
Merga ora ngerti tata krama,senengane tumindak culika,
lan nerak uger-ugere agama,
Wani nekak janggane sapada manungsa
Eling-eleng deweke duwe panguwasa
Najan to olehe nekak ora pati loro,
Nanging saya suwe ya saya kroso
Ora sanak ora kadang waton atine bisa lega
Goro-goro......
Goro-goro jaman kala bendu
Wulangane agama ora digugu,
Sing bener dianggep kliru sing slah malah ditiru,
Bocah sekolah ora gelem sinau,
Yen dituturi malah nesu bareng ora lulus ngantemi guru,
Pancen prawan saiki ayu-ayu,
Ana sing duwur tor kuru,ana sing cendek tor lemu,
Sayang sethitek senengane mung pamer pupu.
Goro-goro........
Goro-goro jaman,jaman kemajuan
Uripe manungsa wis sarwa kecukupan,
Ora kurang sandang,pangan,papan,lan pendidikan,
Ananging malah akeh wong sing menggok ndedalan,
Kayu,watu kanggo sesembahan,domino,lintrik kanggo panggautan,
Senengae mung muja bangsane jin klawan syetan,
Dasar menungsa sing tipis iman.
Goro-goro..........

Senin, 15 September 2008

Little Whimper Fight


Dari tengah tempat tidur, terdengar gemerisik gedebag-gedebug dari tubuh mungil. Rengekan kecil menyusul semenit kemudian. Awalnya, rengekan itu lirih. Tapi lama ke lamaan, rengekan itu intensitasnya semakin tinggi. Suara lain, yang bernada penuh kantuk, memecah rengekan kecil itu.
''Adek, ini lho nenen-nya sebelah sini.''
Tapi si kecil masih saja gedebag-gedebug mencari target nenen sembari merengek. ''Adek, mbok ya jangan godain ibu. Disini lho nenennya,'' Gedebag-gedebug makin ramai karena si ibu ikut-ikutan ribut mencari posisi untuk neneni. Jam di di dinding menunjuk pukul 02:15.
15 menit, si kecil melepas nenen, gedebag-gedebug lagi, sembari tepuk - tepuk tangan. Sesekali ngoceh. ''Waa... wa...wa...wa....'' Tubuhnya miring kiri - miring kanan. ''Adek, ayo to bobok. Jangan main. Masih gelap.'' Si kecil bukannya bobok. ''Waa... wa... wa...wa...''-nya justru tambah keras. Tempat tidur yang tak seberapa besar itu kembali ramai dengan celoteh ibu dan si kecil. Sampai pukul 03:00,
''Waa... wa... wa... wa.... Pukul 03:06 ''Adek, jangan nyungsep sampai situ. Nanti jatuh.'' ''Werr....mbre....mbr...'' 03:13, Ibu buka korden. Dedek digendong . ''Liat tuh. Masih gelap to. Makanya bobok.''. ''Wa..wa...wa''. ''Adek, ngobos? Kok basah? Yah, ayah mbok bangun. Bantuin ganti celana dedek,''
Walah.....(belagak ga denger, tambah ngorok)
06:23 : ''Pap...pa... pa...pa...'' Pintu kamar bederit. ''Adek udah bangun''. ''Pa...pa...pa... pa....''. ''Udah dedek di situ saja ya. Ibu lagi ngepel sama buatin sayur buat dedek''. ''Pap... Pa... Pa...''
06:35 : ''Adek, weengg.... Ha... Em... Kalo disuapi yang gampang to.'' ''Eh...e...e... Itu kuda lewat''. ''Ehm... em.... en... '' ''Udah diliatin dari sini aja.'' ''Mua.... Em... Em...'' ''Udah to. Kudane sudah pergi. Ga usah dikejar. Adek maem lagi aja'' ''Hwa.....'' ''Jangan nangis to. Udah. Cup... cup... Nanti abis mandi naek dokar,'' ''Hwa...Hwa....''
07:15 : ''Situ sama ayah. Ayah dibanguni. Yah.. Adek mau mandi yah... Mandiin yah...'' ''Yah... Mbok bangun to yah...
(Ha... Ha... Dalam 8 bulan terakhir celoteh berbalas rengekan kemudian menjadi pertikaian kecil. Wakakakak... Kalo ga pada ramai gini dari pagi, rumah kecil kami rasanya kaya kuburan. Kalau lagi masa tenang gencatan senjata, selalu ada yang menyulut gara-gara biar suasana jadi ramai... Tapi pertikaian kecil itu selalu dimenangi oleh si kecil. Wa.... wa..... wa.....)

Kamis, 11 September 2008

Rakyat dan Penguasa

Sejatinya, penguasa dan rakyat bukanlah dua pihak yang saling berhadap-hadapan. Mengutip Entile Durkheim, "adanya sesuatu, karena adanya sesuatu". Penguasa ada lantaran ada rakyat yang secara sadar menyerahkan pengaturan interaksi, pemeliharaan kemaslahatan, dan perlindungan.
Namun, sebagian besar rakyat yang ada disekitar kita hari ini hanyalah manusia sederhana. Rakyat kita bukanlah sosok yang memiliki kemampuan membaca peristiwa dibalik peristiwa, peristiwa di balik tembok raksasa atau melihat raut wajah buram di balik sebuah tabir seperti yang diutarakan Irving Goodmand dalam paradigma teorinya " Drama Turgie ".
Rakyat kita juga bukanlah politisi yang sadar akan terpeliharanya urusan dan kemaslahatannya kapan saja dan di mana saja. Sebagian besar rakyat kita hanyalah manusia yang mudah terseret oleh pemenuhan kebutuhan sesaat yang membutuhkan pemuasan secepatnya.
Sebaliknya penguasa kita hari ini bukanlah penguasa seperti dalam pandangan teologis. Penguasa kita juga bukanlah aristokrasi para cendekia seperti yang diungkapkan Plato. Penguasa yang ada di sekitar kita hari ini tak jauh panggang dari api dengan penguasa prototipe Niccollo Machiavelli: penguasa yang memiliki sifat penuh ambisi, senang intrik dan keji.
Seorang penguasa yang boleh melakukan apa saja dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Penguasa yang tak segan malih rupa menjadi apapun yang mereka inginkan. Pebisnis yang mencari untung sendiri, diktator yang memaksakan kepentingannya diatas kepentingan umat
serta makelar penjual kemiskinan rakyatnya. Penguasa yang hanya membutuhkan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Penguasa yang sibuk dengan problem dirinya sendiri, dan jarang memahami bahwa kekuasaannya sangat bergantung pada rakyat.
Rakyat dan penguasa kita hari ini memang laksana dua kutub yang berseberangan. Namun sejarah membuktikan, tidak ada penguasa yang bertahan lama ketika mencari untung pribadi dan mengabaikan rakyat. Rakyat dalam kondisi terbodoh sekalipun, masih menyimpan kekayaan ancaman gelombang kekuatan yang tak mudah diredakan oleh penguasa. Mungkin, sekaranglah waktunya bagi penguasa untuk berpikir tentang rakyatnya atau digulung rakyatnya.

Selasa, 27 Mei 2008

''Lapar di Tengah Pesta''


MENANGGIS : Sukak (49) menanggis menuntut pembebasan Kusen satu dari enam warga Desa Terahan Kecamatan Sluke yang ditahan karena dugaan kasus pencurian di areal PLTU Sluke kemarin. Proyek PLTU menyisakan banyak konflik sosial yang harus segera diselesaikan.

Setiap pagi selama satu setengah tahun dari teras rumahnya yang terletak di jalur pantai utara (pantura), Sofyan (33) warga Desa Leran Kecamatan Sluke hanya bisa memandang ratusan orang - yang sebagian besar berasal dari luar Rembang - berderak-derak memasuki pintu checking point Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Anggota Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) Desa Leran itu hanya bisa ngrantes menyaksikan wajah-wajah pekerja mega proyek yang menelan dana ABPN sekitar Rp5,6 triliun itu berkeliaran di sekitar rumahnya.
Tergiang kemudian olehnya sebuah janji tertanggal 11 Desember 2006 yang ditandatangani oleh Project Director PLTU Sluke Soelijanto Hary Poernomo. ''Tenaga lapangan yang diperlukan selama pelaksanaan proyek, diprioritaskan pemberdayaannya dari masyarakat yang terkena dampak langsung dan selanjutnya yang terkena dampak tidak langsung,'' ujarnya mengutip janji yang ditulis di atas selembar kertas itu.
Namun, janji hanyalah tinggal janji. Selama berlangsungnya pembangunan PLTU, sebagian besar warga sekitar diabaikan dari proyek PLTU. Bahkan, kata Jamil (38) warga Terahan, seorang petinggi proyek berkebangsaan asing dengan arogan menyatakan warga sekitar bodoh. Sehingga tidak layak diterima menjadi tenaga kasar PLTU. ''Kami sangat terhina dengan perkataannya. Ibaratnya kami dipaksanya menjadi penonton bagi pesta besar yang dihelat di rumah kami sendiri. Sedangkan perut kami merasa lapar,'' tutur Sofyan.
Mengais Sisa
Mengutip syair Matsnawi karya Jalaludin Rumi, tidak semua orang bisa bertahan dalam perut yang lapar, enam warga Terahan yaitu Zakim (28), Fuad ( 31), Kusen (31), Fauzi ( 40), Samindar (37) dan Parmin ( 39) berupaya mengais ''sisa-sisa hidangan pesta'' untuk menganjal perut yang lapar. Mereka memulung besi bekas seukuran 20 cm hingga 50 cm yang dibuang pekerja proyek di laut sekitar PLTU. Tanggal 9 April 2008, keenamnya diadukan ke aparat sebagai pencuri besi proyek PLTU oleh si-empunya pesta. Sehari kemudian, ke enam itu ditahan oleh aparat.
Melihat ketidakadilan, bendung kesabaran warga yang tidak memiliki pekerjaan tetap itu jebol. Kemarin mulai pukul 06:00, setelah lama memendam kecemburuan sosial, warga yang meradang turun ke jalan. Dengan puluhan poster, sebuah spanduk, mobil dan tenda, ratusan warga sejak pukul 06:00 ''menyegel'' pintu checking point PLTU. Tuntutan mereka, warga sekitar harus dipekerjakan serta enam orang yang ditahan juga harus dibebaskan.
Aksi yang panas ini tak urung menyeret pelaksana proyek PLTU yang diwakili Hendra Leo (PT Zeelan Priamanaya Tronoh) dan Ir Soeriarso Suryo (Sekretaris Proyek PLTU) ke meja musyawarah dengan warga. Hasilnya, diatas selembar kertas, warga kembali dijanjikan untuk segera dipekerjakan di PLTU. Warga yang ditahan juga dijanjikan untuk mendapatkan penangguhan penahanan. Akankah pembaruan janji dari PLTU ini terealisasi? ''Kami berharap PLTU menghormati janji kali ini. Jangan sampai mereka ingkar lagi. Karena kami sudah tak lagi bisa menahan dendam janji terdahulu,'' tegas Munawir, kepala desa Leran. (Suara Merdeka - Suara Muria 28/03/08)

Senin, 26 Mei 2008

''Sapi - sapi itu Dibiarkan 24 Jam di Ladang''





DIBIARKAN : Sapi milik Rukhani, warga Desa Kaliombo Kecamatan Sulang dibiarkan tanpa penjagaan selama 24 jam di kandang yang terletak di ladang. Warga Kaliombo mempercayai, maling tidak akan berani datang mengambil sapi.



Rukhani (45) merajang dedaunan dengan lincah. Setelah cukup lembut, warga Desa Kaliombo Kecamatan Sulang itu kemudian mencampurkan dedaunan itu dengan air yang telah disiapkan dalam ember plastik hitam. Matahari sedang terik menancap di ubun-ubun ketika pria yang selalu bertutur kata kalem itu menyodorkan ember plastik hitam itu ke moncong sapi peliharaannya.
Tidak seperti warga desa lain, warga Desa Kaliombo seperti Rukhani memiliki tradisi unik dalam memelihara sapi. Warga desa itu tidak memelihara sapi di lingkungan pemukiman. Justru siang dan malam , sapi-sapi milik warga itu dibiarkan saja tanpa penjagaan di ladang yang memiliki jarak tak kurang 1 KM dari pemukiman. Meski dipelihara jauh dari pemukiman, namun warga mengaku tidak khawatir sapi mereka akan hilang dicuri orang. ''Saya tidak khawatir. Karena meskipun hilang, sapi saya ini pasti akan kembali lagi,'' tutur Rukhani sembari beristirahat memandangi sapinya.
Kebiasaan warga memelihara sapi jauh dari pemukiman ini, bukannya tanpa alasan. Warga mengatakan dengan memelihara sapi di rumah, mengakibatkan pemukiman menjadi kotor. Selain itu dengan meletakkan sapi di ladang, warga mengaku lebih mudah dalam memberi makan dan membersihkan kotoran sapi. ''Makanan sapi tinggal ambil di ladang. Sedangkan kotorannya bisa cepat diangkut untuk pupuk,'' tutur Leles (38), warga lainnya.
Dijaga Danyang
Alasan lainnya yang membuat warga mantap meletakkan sapinya di ladang adalah adanya sebuah kepercayaan yang menyatakan sapi-sapi itu dijaga oleh danyang (penjaga desa-red). Keberadaan danyang itu, kata Sungkono (40), dipercayai warga melalui cerita turun-temurun. Syahdan, katanya, seorang maling sapi pada suatu malam menyatroni desa itu. Beberapa ekor sapi telah berhasil dibawa oleh si maling. Namun apa lacur maling itu seperti tidak menemukan jalan untuk keluar dari Desa Kaliombo.
Dengan sapi di tangan, maling itu hanya berputar-putar keliling desa hingga pagi menjelang. Maling itu-pun berhasil ditangkap oleh warga. ''Cerita orang-orang tua di desa, maling itu merasa dijerumuskan oleh danyang ke dalam danau luas setiap kali hendak melangkah keluar dari desa. Sehingga maling itu tidak bisa keluar dari Desa Kaliombo,'' tutur Sungkono sembari mengutarakan saat ini seringkali sapi yang sudah dicuri orang bisa kembali.
Entah hanya kebetulan atau bagaimana, cerita dari mulut ke mulut itu sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Di sekeliling ladang yang juga menjadi kandang bagi ratusan sapi milik warga itu akan segera didirikan embung seluas 50 hektare dengan air yang melimpah ruah. Hanya saja pertanyaannya kini, akankah danyang Desa Kaliombo akan membantu warga seandainya terjadi proses pembebasan tanah embung merugikan warga? Wallahuallam (Suara Merdeka - Suara Muria/25/3/08)

Jumat, 23 Mei 2008

''Luka Kecil di Badan Tak Usah Dirasa''


KERUK KRICAK : Warsih bersama tiga orang rekannya tengah mengeruk kricak di tengah terik sinar matahari kemarin. Buruh tambang perempuan di Desa Sendangwaru Kecamatan Kragan ini mendapatkan upah Rp 12.500/ hari.



Jari-jari tangan Warsih (40) bukanlah begu besi yang tak bisa terluka. Tak urung, ketika digunakan mengeruk tumpukan kricak tajam yang menggunung di depannya, jemari warga Dukuh Kropoh Desa Sendangwaru Kecamatan Kragan itu luka disana sini. Namun seperti tikus tanah buruh tambang perempuan itu terus mengeruk batu kricak, tanpa mempedulikan luka ditangannya. ''Jaman susah begini, luka kecil di badan tak usah dirasa. Yang penting, api dapur terus menyala dan beras untuk keluarga selalu ada,'' bisiknya lirih.
Warsih mengaku pekerjaan mengeruk kricak telah dilakoninya selama beberapa bulan belakangan. Sebelum bekerja mengeruk kricak di pertambangan milik Hasan dan Nur Hasanah itu, dia mengaku bekerja serabutan sebagai pengumpul batu kricak di pertambangan Bong Cino Desa Sendangwaru selama puluhan tahun.
Saat di Bong Cino, dia mendapatkan bayaran tak kurang dari Rp 400 untuk setiap engkrak (keranjang-red) besar batu yang dikumpulkannya ke pengepul. Namun karena dianggap merusak lingkungan, pertambangan Bong Cino itu akhirnya ditutup oleh Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten pada tahun 2007 itu. ''Saat di Bong Cino, mendapatkan Rp 20.000 sehari sangat gampang. Tapi, setelah Bong Cino di tutup, saya hanya diupah Rp 12.500 oleh juragan untuk kerja mengeruk kricak dari jam 08:00 hingga jam 16:00,'' ujar istri dari buruh tani Sukadi (45) ini.
Berpikir Keras
Dengan upah Rp 12.500/hari ditengah melangitnya harga sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) akibat kenaikan BBM, Warsih mengaku harus berpikir ekstra keras agar kendhil keluarganya tidak ngguling.
Dia mengaku dengan upah itu, hanya cukup untuk membeli beras dan memberi sedikit uang saku bagi dua anaknya yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). ''Dari upah yang saya terima itu, yang paling utama harus dibeli adalah beras. Kalau beras sudah ditangan, hati ini sudah ayem. Sedangkan lauknya, didapat dari upah mburuh tani suami saya,'' katanya.
Meski tergolong sebagai buruh dengan penghasilan yang sangat kecil, namun dia mengaku tidak termasuk salah satu dari 19,2 jutaan rumah tangga miskin (RTM) penerima bantuan langsung tunai (BLT) 2005. ''Saya tidak tahu kenapa tidak menerima BLT. Mungkin, petugas pendata menganggap saya telah kaya dari kerja mengeruk kricak seperti ini,'' paparnya.
Warsih bukanlah satu-satunya buruh perempuan tambang yang tidak menerima BLT 2005. Empat dari 20-an orang perempuan yang juga bekerja di pertambangan Desa Sendangwaru mengaku juga tidak menerima BLT. ''Kalau bisa, tahun ini kami ingin dapat BLT,'' kata Wasikah (44), buruh tambang perempuan lainnya. (Suara Merdeka/ Suara Muria 23/05/08)

Kamis, 22 Mei 2008

''Memperingati Kebangkitan Nasional Dengan Amarah''



PERFORMANCE ART : Dj PoP tengah membawakan performance art berjudul ''Pembangkangan Massal Sekarang'' pada Refleksi 100 tahun Kebangkitan Nasional yang digagas oleh Teater Pesisir Rembang Selasa (20/5) malam. ()


Father...? Yes son. I want to kill you! . Sepenggal lirik lagu The End karya The Doors yang dibalut dengan musik techno itu berdentum berulang layaknya bunyi senapan mesin. Seiring bebunyian yang terkesan berisik itu, Dj. PoP mulai beraksi.
Tubuh pemuda yang memiliki nama asli Baskoro itu menari-nari dibalut pancaran sinar proyektor yang silih berganti menayangkan berbagai potongan film karya Andi Warhol, film dokumenter perang dan berbagai foto sosok manusia dalam keterpurukannya.
Selama menari, mulut penyair kelahiran Rembang itu melantunkan syair puisi ''Pembangkangan Massal Sekarang'' dengan suara cepat mirip orang meracau. '' Harga BBM naik. Rakyat tercekik. Naik motor gede. Mengobarkan nasionalisme. Bangsat! Rumah Kartini diinjak-injak sepatu boot. Apa kabarmu Rembang? Masihkah korupsi'' ujar dia.
Tak urung penampilan pemuda yang pernah beberapa tahun menghabiskan waktunya di Jogjakarta itu membuat seratusan penonton yang hadir di depan pendopo aula rumah dinas wakil bupati Rembang pada Selasa malam itu terpekur. Penontonpun seolah ikut hanyut bersama kemarahan yang dilontarkan Dj PoP melalui syairnya yang cenderung menyumpah-nyumpah kondisi bangsa Indonesia yang tak juga bangkit dari keterpurukannya.
Marah
Namun Dj PoP bukan satu-satunya penampil yang ''marah'' dalam gelaran Refleksi 100 tahun Kebangkitan Nasional yang digagas oleh Teater Pesisir Rembang itu. Para penampil lainnya yaitu Forum Masyarakat Desa Leran Terahan Untuk Reformasi (FMLTR), komunitas punk Emosi Kuat, Skandal 45 serta penyair Khamim, N Hatta Maccaloe, Wawan, Tedjo, Ming-ming dan Alfis juga menyuarakan amarah terhadap kondisi bangsa melalui lirik-lirik syair yang dilantunkan dalam acara itu. ''Bukan bangsa Indonesia yang bangkit dalam 100 tahun ini. Justru keterpurukan, kesewenang-wenangan dan kedzaliman yang bangkit dari bangsa ini,'' keluh Khamim.
Arifin, pengiat Teater Pesisir mengutarakan tema kemarahan terhadap kondisi bangsa yang menjadi benang merah dalam acara Refleksi 100 tahun Kebangkitan Nasional itu bukanlah disengaja. Dia mengutarakan pihaknya membebaskan penampil untuk mengekspresikan diri melalui karyanya dalam acara itu. (Suara Merdeka-Suara Muria 22/05/08)

Rabu, 21 Mei 2008

''Pesenam Desa Membidik Prestasi Nasional''


ALAT RAKITAN : Sejumlah pesenam lantai tengah berlatih di atas alat senam rakitan yang diletakkan di aula SD Jatihadi Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang. ()


Waktu menunjuk pukul 16:05. Matahari sudah tak lagi terik. Di sebuah ruang SD Negeri Desa Jatihadi Kecamatan Sumber, Afifudin Hidayat (6) dan Ahmad Fitrani (6) banjir keringat. Meski wajah mereka terlihat lelah, namun kedua anak desa di perbatasan Rembang - Pati itu masih terlihat bersemangat bersalto di atas tumpukan matras. Selain Afif dan Ahmad, di ruangan itu juga terdapat sepuluh anak lain yang tengah berlatih di atas peralatan senam seperti palang sejajar dan kuda-kuda. Suparno (40) guru olahraga SD Jatihadi yang juga menjadi pelatih terus mengawasi kedua anak didiknya itu. Sesekali dari mulutnya keluar perintah agar kedua anak itu memperbaiki gerakan salto.
Awalnya adalah cibiran dan ejekan, ujar Suparno disela-sela latihan. Apa mungkin anak desa bisa mahir senam lantai, kata sebagian warga yang pesimis. Namun guru SD Jatihadi itu tidak peduli dengan ejekan dan cibiran. Tahun 1997, dia tekadkan hati untuk mulai melatih anak desa dengan gerakan-gerakan dasar senam lantai. ''Saat itu saya hanya memakai lapangan dan matras seadanya,'' tuturnya.
Dari latihan dengan fasilitas yang sederhana itu, tambahnya, mulai tumbuh bibit pesenam lantai. Berbekal keyakinan dan kerja keras, satu per satu bibit pesenam yang dilatihnya meraih prestasi di tingkat pekan olahraga dan seni (Porseni) tingkat Kabupaten dan Karesidenan. Bahkan salah satu pesenam yang dilatih di lapangan SD Jatihadi yaitu Andi Suwiknya, berhasil berjaya di sejumlah kejuaraan senam tingkat Provinsi. ''Andi saat ini ikut salah satu pesenam yang disiapkan untuk memperkuat Jawa Tengah di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII di Kalimantan Timur,'' paparnya bangga.
Alat Rakitan
Setelah usaha yang dirintisnya mulai berbuah prestasi, barulah warga desa pelosok itu mulai tergerak hatinya untuk mengikutkan anaknya dalam kegiatan senam yang diasuh Suparno. Saat ini, hampir semua anak SD Jatihadi ikut latihan senam lantai di SD Jatihadi.
Anak-anak ini juga bahkan rela untuk mengeluarkan uang iuran untuk membuat alat-alat senam. Saat ini SD Jatihadi memiliki peralatan senam seperti kuda-kuda pelana, meja lompat, ring gelang-gelang, palang tanjak dan palang bertingkat. ''Semua alat itu merupakan rakitan sendiri. Karena untuk membeli yang asli, kami tidak sanggup,'' jelasnya.
Ditambahkannya, dari anak-anak yang diasuhnya saat ini, beberapa diantaranya sudah mulai mengikuti jejak prestasi yang ditorehkan oleh seniornya Andi. Tercatat, katanya, nama Nur Huda (SMA Negeri Sumber) dan Hadi Sunyoto (MAN Rembang) yang mulai berbicara ditingkat Karesidenan Pati dan Jawa Tengah. Suparno yakin, dimasa mendatang dari desa kecil itu akan muncul pesenam bertaraf nasional. (Suara Merdeka, Suara Muria 21/5/08)

Minggu, 18 Mei 2008

Sukidjan, Catatan Kelam Pembebasan Lahan PLTU Sluke...


(KETELA REBUS : Warga pemilik tanah yang kini dibangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menyantap ketela rebus seusai memperingati tujuh hari meninggalnya Sukidjan. SM/Mulyanto Ari Wibowo)



Wiliam Shakespeare, pujangga Inggris itu boleh saja menyatakan apalah arti sebuah nama. Namun bagi Suyono (34), warga RT 02/III Desa Leran Kecamatan Sluke, nama tetaplah mengandung arti yang mendalam. Cobalah tanyakan nama Sukidjan pada Suyono. Serta merta dua bola mata bapak dua anak ini akan berkaca-kaca, pertanda nama Sukidjan memiliki arti yang mendalam dalam diri Suyono. ''Sukidjan adalah nama bapak saya,'' katanya lirih.
Pria yang kini berdomisili di Desa Trahan ini menuturkan sudah puluhan tahun bapaknya memiliki lahan seluas 2.077 m2. Kalau musim hujan sedang bagus, lahan itu ditanami padi. Namun saat musim kemarau datang, lahan itu ditanami dengan jagung dan ketela. ''Hasil dari bercocok tanam itu digunakan untuk menghidupi empat orang anaknya. Hasil dari bercocok tanam memang tidak pernah melimpah. Namun cukup untuk kami sekeluarga,'' terangnya.
Sekitar setahun yang lalu, tanah satu-satunya milik Sukidjan itu ternyata masuk ke dalam rencana lahan yang dibebaskan untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sluke. Sukidjan yang berumur 53 tahun itu tidak mau melepaskan lahannya yang hanya dihargai Rp 40.000/m2.
''Saat itu, bapak berpikiran uang bisa cepat habis dibelanjakan. Sedangkan lahan garapan bisa dipakai untuk mencukupi kebutuhan hingga anak cucu. Sehingga bapak tidak setuju lahannya digantirugi dengan uang Rp 40.000/m2,'' tutur Suyono.
Meninggal Dunia
Meski tidak mau menerima ganti rugi, namun pihak proyek PLTU tetap saja mencaplok lahan milik Sukidjan itu. Bahkan, tanah milik Sukidjan itu adalah lahan pertama yang didirikan bangunan proyek PLTU. ''Bapak merasa tanahnya telah dirampas paksa. Setelah lahannya hilang, bapak yang tidak punya pekerjaan lagi sering terlihat melamun. Bapak juga sering sakit-sakitan hingga beberapa kali masuk puskesmas dan rumah sakit,'' ujarnya.
Tujuh hari yang lalu, Sukidjan akhirnya meninggal dunia setelah sempat tergolek sakit selama beberapa hari. Tak urung, kepergian Sukidjan menghadap Yang Kuasa itu menimbulkan bekas yang sangat mendalam bagi keluarga serta handai taulan sesama pemilik lahan yang belum menyetujui ganti rugi Rp 40.000/m2. ''Pak Sukidjan adalah salah satu warga yang gigih memperjuangkan tanahnya. Beberapa kali dia sempat tidur di tenda untuk menuntut hak atas tanahnya,'' tutur Ngalimun, salah satu teman dekat Sukidjan.
Sukidjan adalah satu dari sekian lembaran buram pembebasan tanah proyek PLTU. Kematian Sukidjan yang mengenaskan itu, kata Sub Komisi Pemantauan dan Penyidikan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asazi Manusia ( HAM), Johny Nelson Simanjuntak menjadi salah satu catatan yang dikumpulkannya untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM pada pembebasan lahan PLTU Sluke. (Suara Merdeka, Suara Muria 16 April 2008)