Kamis, 18 September 2008

Goro-Goro



Goro-goro....
Goro garaning manungsa sak pirang-pirang,
Yen diitung saka tanah jawa nganti bumi sebrang,
Uripe manungsa kena kaibaratake kaya wayang,
Mrana-mrene pikire mung tansah nggrangsang,
Nanging keri-kerine mung oleh wirang.
Goro-goro.....
Wolak-walike jaman menungsa kakean dosa,
Merga ora ngerti tata krama,senengane tumindak culika,
lan nerak uger-ugere agama,
Wani nekak janggane sapada manungsa
Eling-eleng deweke duwe panguwasa
Najan to olehe nekak ora pati loro,
Nanging saya suwe ya saya kroso
Ora sanak ora kadang waton atine bisa lega
Goro-goro......
Goro-goro jaman kala bendu
Wulangane agama ora digugu,
Sing bener dianggep kliru sing slah malah ditiru,
Bocah sekolah ora gelem sinau,
Yen dituturi malah nesu bareng ora lulus ngantemi guru,
Pancen prawan saiki ayu-ayu,
Ana sing duwur tor kuru,ana sing cendek tor lemu,
Sayang sethitek senengane mung pamer pupu.
Goro-goro........
Goro-goro jaman,jaman kemajuan
Uripe manungsa wis sarwa kecukupan,
Ora kurang sandang,pangan,papan,lan pendidikan,
Ananging malah akeh wong sing menggok ndedalan,
Kayu,watu kanggo sesembahan,domino,lintrik kanggo panggautan,
Senengae mung muja bangsane jin klawan syetan,
Dasar menungsa sing tipis iman.
Goro-goro..........

Senin, 15 September 2008

Little Whimper Fight


Dari tengah tempat tidur, terdengar gemerisik gedebag-gedebug dari tubuh mungil. Rengekan kecil menyusul semenit kemudian. Awalnya, rengekan itu lirih. Tapi lama ke lamaan, rengekan itu intensitasnya semakin tinggi. Suara lain, yang bernada penuh kantuk, memecah rengekan kecil itu.
''Adek, ini lho nenen-nya sebelah sini.''
Tapi si kecil masih saja gedebag-gedebug mencari target nenen sembari merengek. ''Adek, mbok ya jangan godain ibu. Disini lho nenennya,'' Gedebag-gedebug makin ramai karena si ibu ikut-ikutan ribut mencari posisi untuk neneni. Jam di di dinding menunjuk pukul 02:15.
15 menit, si kecil melepas nenen, gedebag-gedebug lagi, sembari tepuk - tepuk tangan. Sesekali ngoceh. ''Waa... wa...wa...wa....'' Tubuhnya miring kiri - miring kanan. ''Adek, ayo to bobok. Jangan main. Masih gelap.'' Si kecil bukannya bobok. ''Waa... wa... wa...wa...''-nya justru tambah keras. Tempat tidur yang tak seberapa besar itu kembali ramai dengan celoteh ibu dan si kecil. Sampai pukul 03:00,
''Waa... wa... wa... wa.... Pukul 03:06 ''Adek, jangan nyungsep sampai situ. Nanti jatuh.'' ''Werr....mbre....mbr...'' 03:13, Ibu buka korden. Dedek digendong . ''Liat tuh. Masih gelap to. Makanya bobok.''. ''Wa..wa...wa''. ''Adek, ngobos? Kok basah? Yah, ayah mbok bangun. Bantuin ganti celana dedek,''
Walah.....(belagak ga denger, tambah ngorok)
06:23 : ''Pap...pa... pa...pa...'' Pintu kamar bederit. ''Adek udah bangun''. ''Pa...pa...pa... pa....''. ''Udah dedek di situ saja ya. Ibu lagi ngepel sama buatin sayur buat dedek''. ''Pap... Pa... Pa...''
06:35 : ''Adek, weengg.... Ha... Em... Kalo disuapi yang gampang to.'' ''Eh...e...e... Itu kuda lewat''. ''Ehm... em.... en... '' ''Udah diliatin dari sini aja.'' ''Mua.... Em... Em...'' ''Udah to. Kudane sudah pergi. Ga usah dikejar. Adek maem lagi aja'' ''Hwa.....'' ''Jangan nangis to. Udah. Cup... cup... Nanti abis mandi naek dokar,'' ''Hwa...Hwa....''
07:15 : ''Situ sama ayah. Ayah dibanguni. Yah.. Adek mau mandi yah... Mandiin yah...'' ''Yah... Mbok bangun to yah...
(Ha... Ha... Dalam 8 bulan terakhir celoteh berbalas rengekan kemudian menjadi pertikaian kecil. Wakakakak... Kalo ga pada ramai gini dari pagi, rumah kecil kami rasanya kaya kuburan. Kalau lagi masa tenang gencatan senjata, selalu ada yang menyulut gara-gara biar suasana jadi ramai... Tapi pertikaian kecil itu selalu dimenangi oleh si kecil. Wa.... wa..... wa.....)

Kamis, 11 September 2008

Rakyat dan Penguasa

Sejatinya, penguasa dan rakyat bukanlah dua pihak yang saling berhadap-hadapan. Mengutip Entile Durkheim, "adanya sesuatu, karena adanya sesuatu". Penguasa ada lantaran ada rakyat yang secara sadar menyerahkan pengaturan interaksi, pemeliharaan kemaslahatan, dan perlindungan.
Namun, sebagian besar rakyat yang ada disekitar kita hari ini hanyalah manusia sederhana. Rakyat kita bukanlah sosok yang memiliki kemampuan membaca peristiwa dibalik peristiwa, peristiwa di balik tembok raksasa atau melihat raut wajah buram di balik sebuah tabir seperti yang diutarakan Irving Goodmand dalam paradigma teorinya " Drama Turgie ".
Rakyat kita juga bukanlah politisi yang sadar akan terpeliharanya urusan dan kemaslahatannya kapan saja dan di mana saja. Sebagian besar rakyat kita hanyalah manusia yang mudah terseret oleh pemenuhan kebutuhan sesaat yang membutuhkan pemuasan secepatnya.
Sebaliknya penguasa kita hari ini bukanlah penguasa seperti dalam pandangan teologis. Penguasa kita juga bukanlah aristokrasi para cendekia seperti yang diungkapkan Plato. Penguasa yang ada di sekitar kita hari ini tak jauh panggang dari api dengan penguasa prototipe Niccollo Machiavelli: penguasa yang memiliki sifat penuh ambisi, senang intrik dan keji.
Seorang penguasa yang boleh melakukan apa saja dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Penguasa yang tak segan malih rupa menjadi apapun yang mereka inginkan. Pebisnis yang mencari untung sendiri, diktator yang memaksakan kepentingannya diatas kepentingan umat
serta makelar penjual kemiskinan rakyatnya. Penguasa yang hanya membutuhkan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Penguasa yang sibuk dengan problem dirinya sendiri, dan jarang memahami bahwa kekuasaannya sangat bergantung pada rakyat.
Rakyat dan penguasa kita hari ini memang laksana dua kutub yang berseberangan. Namun sejarah membuktikan, tidak ada penguasa yang bertahan lama ketika mencari untung pribadi dan mengabaikan rakyat. Rakyat dalam kondisi terbodoh sekalipun, masih menyimpan kekayaan ancaman gelombang kekuatan yang tak mudah diredakan oleh penguasa. Mungkin, sekaranglah waktunya bagi penguasa untuk berpikir tentang rakyatnya atau digulung rakyatnya.