Jumat, 23 Mei 2008

''Luka Kecil di Badan Tak Usah Dirasa''


KERUK KRICAK : Warsih bersama tiga orang rekannya tengah mengeruk kricak di tengah terik sinar matahari kemarin. Buruh tambang perempuan di Desa Sendangwaru Kecamatan Kragan ini mendapatkan upah Rp 12.500/ hari.



Jari-jari tangan Warsih (40) bukanlah begu besi yang tak bisa terluka. Tak urung, ketika digunakan mengeruk tumpukan kricak tajam yang menggunung di depannya, jemari warga Dukuh Kropoh Desa Sendangwaru Kecamatan Kragan itu luka disana sini. Namun seperti tikus tanah buruh tambang perempuan itu terus mengeruk batu kricak, tanpa mempedulikan luka ditangannya. ''Jaman susah begini, luka kecil di badan tak usah dirasa. Yang penting, api dapur terus menyala dan beras untuk keluarga selalu ada,'' bisiknya lirih.
Warsih mengaku pekerjaan mengeruk kricak telah dilakoninya selama beberapa bulan belakangan. Sebelum bekerja mengeruk kricak di pertambangan milik Hasan dan Nur Hasanah itu, dia mengaku bekerja serabutan sebagai pengumpul batu kricak di pertambangan Bong Cino Desa Sendangwaru selama puluhan tahun.
Saat di Bong Cino, dia mendapatkan bayaran tak kurang dari Rp 400 untuk setiap engkrak (keranjang-red) besar batu yang dikumpulkannya ke pengepul. Namun karena dianggap merusak lingkungan, pertambangan Bong Cino itu akhirnya ditutup oleh Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten pada tahun 2007 itu. ''Saat di Bong Cino, mendapatkan Rp 20.000 sehari sangat gampang. Tapi, setelah Bong Cino di tutup, saya hanya diupah Rp 12.500 oleh juragan untuk kerja mengeruk kricak dari jam 08:00 hingga jam 16:00,'' ujar istri dari buruh tani Sukadi (45) ini.
Berpikir Keras
Dengan upah Rp 12.500/hari ditengah melangitnya harga sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) akibat kenaikan BBM, Warsih mengaku harus berpikir ekstra keras agar kendhil keluarganya tidak ngguling.
Dia mengaku dengan upah itu, hanya cukup untuk membeli beras dan memberi sedikit uang saku bagi dua anaknya yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). ''Dari upah yang saya terima itu, yang paling utama harus dibeli adalah beras. Kalau beras sudah ditangan, hati ini sudah ayem. Sedangkan lauknya, didapat dari upah mburuh tani suami saya,'' katanya.
Meski tergolong sebagai buruh dengan penghasilan yang sangat kecil, namun dia mengaku tidak termasuk salah satu dari 19,2 jutaan rumah tangga miskin (RTM) penerima bantuan langsung tunai (BLT) 2005. ''Saya tidak tahu kenapa tidak menerima BLT. Mungkin, petugas pendata menganggap saya telah kaya dari kerja mengeruk kricak seperti ini,'' paparnya.
Warsih bukanlah satu-satunya buruh perempuan tambang yang tidak menerima BLT 2005. Empat dari 20-an orang perempuan yang juga bekerja di pertambangan Desa Sendangwaru mengaku juga tidak menerima BLT. ''Kalau bisa, tahun ini kami ingin dapat BLT,'' kata Wasikah (44), buruh tambang perempuan lainnya. (Suara Merdeka/ Suara Muria 23/05/08)

Tidak ada komentar: