Senin, 05 Januari 2009

Sorry broter, I'll be the next Joker




This is one of my favourite photo of my son...

Kamis, 18 September 2008

Goro-Goro



Goro-goro....
Goro garaning manungsa sak pirang-pirang,
Yen diitung saka tanah jawa nganti bumi sebrang,
Uripe manungsa kena kaibaratake kaya wayang,
Mrana-mrene pikire mung tansah nggrangsang,
Nanging keri-kerine mung oleh wirang.
Goro-goro.....
Wolak-walike jaman menungsa kakean dosa,
Merga ora ngerti tata krama,senengane tumindak culika,
lan nerak uger-ugere agama,
Wani nekak janggane sapada manungsa
Eling-eleng deweke duwe panguwasa
Najan to olehe nekak ora pati loro,
Nanging saya suwe ya saya kroso
Ora sanak ora kadang waton atine bisa lega
Goro-goro......
Goro-goro jaman kala bendu
Wulangane agama ora digugu,
Sing bener dianggep kliru sing slah malah ditiru,
Bocah sekolah ora gelem sinau,
Yen dituturi malah nesu bareng ora lulus ngantemi guru,
Pancen prawan saiki ayu-ayu,
Ana sing duwur tor kuru,ana sing cendek tor lemu,
Sayang sethitek senengane mung pamer pupu.
Goro-goro........
Goro-goro jaman,jaman kemajuan
Uripe manungsa wis sarwa kecukupan,
Ora kurang sandang,pangan,papan,lan pendidikan,
Ananging malah akeh wong sing menggok ndedalan,
Kayu,watu kanggo sesembahan,domino,lintrik kanggo panggautan,
Senengae mung muja bangsane jin klawan syetan,
Dasar menungsa sing tipis iman.
Goro-goro..........

Senin, 15 September 2008

Little Whimper Fight


Dari tengah tempat tidur, terdengar gemerisik gedebag-gedebug dari tubuh mungil. Rengekan kecil menyusul semenit kemudian. Awalnya, rengekan itu lirih. Tapi lama ke lamaan, rengekan itu intensitasnya semakin tinggi. Suara lain, yang bernada penuh kantuk, memecah rengekan kecil itu.
''Adek, ini lho nenen-nya sebelah sini.''
Tapi si kecil masih saja gedebag-gedebug mencari target nenen sembari merengek. ''Adek, mbok ya jangan godain ibu. Disini lho nenennya,'' Gedebag-gedebug makin ramai karena si ibu ikut-ikutan ribut mencari posisi untuk neneni. Jam di di dinding menunjuk pukul 02:15.
15 menit, si kecil melepas nenen, gedebag-gedebug lagi, sembari tepuk - tepuk tangan. Sesekali ngoceh. ''Waa... wa...wa...wa....'' Tubuhnya miring kiri - miring kanan. ''Adek, ayo to bobok. Jangan main. Masih gelap.'' Si kecil bukannya bobok. ''Waa... wa... wa...wa...''-nya justru tambah keras. Tempat tidur yang tak seberapa besar itu kembali ramai dengan celoteh ibu dan si kecil. Sampai pukul 03:00,
''Waa... wa... wa... wa.... Pukul 03:06 ''Adek, jangan nyungsep sampai situ. Nanti jatuh.'' ''Werr....mbre....mbr...'' 03:13, Ibu buka korden. Dedek digendong . ''Liat tuh. Masih gelap to. Makanya bobok.''. ''Wa..wa...wa''. ''Adek, ngobos? Kok basah? Yah, ayah mbok bangun. Bantuin ganti celana dedek,''
Walah.....(belagak ga denger, tambah ngorok)
06:23 : ''Pap...pa... pa...pa...'' Pintu kamar bederit. ''Adek udah bangun''. ''Pa...pa...pa... pa....''. ''Udah dedek di situ saja ya. Ibu lagi ngepel sama buatin sayur buat dedek''. ''Pap... Pa... Pa...''
06:35 : ''Adek, weengg.... Ha... Em... Kalo disuapi yang gampang to.'' ''Eh...e...e... Itu kuda lewat''. ''Ehm... em.... en... '' ''Udah diliatin dari sini aja.'' ''Mua.... Em... Em...'' ''Udah to. Kudane sudah pergi. Ga usah dikejar. Adek maem lagi aja'' ''Hwa.....'' ''Jangan nangis to. Udah. Cup... cup... Nanti abis mandi naek dokar,'' ''Hwa...Hwa....''
07:15 : ''Situ sama ayah. Ayah dibanguni. Yah.. Adek mau mandi yah... Mandiin yah...'' ''Yah... Mbok bangun to yah...
(Ha... Ha... Dalam 8 bulan terakhir celoteh berbalas rengekan kemudian menjadi pertikaian kecil. Wakakakak... Kalo ga pada ramai gini dari pagi, rumah kecil kami rasanya kaya kuburan. Kalau lagi masa tenang gencatan senjata, selalu ada yang menyulut gara-gara biar suasana jadi ramai... Tapi pertikaian kecil itu selalu dimenangi oleh si kecil. Wa.... wa..... wa.....)

Kamis, 11 September 2008

Rakyat dan Penguasa

Sejatinya, penguasa dan rakyat bukanlah dua pihak yang saling berhadap-hadapan. Mengutip Entile Durkheim, "adanya sesuatu, karena adanya sesuatu". Penguasa ada lantaran ada rakyat yang secara sadar menyerahkan pengaturan interaksi, pemeliharaan kemaslahatan, dan perlindungan.
Namun, sebagian besar rakyat yang ada disekitar kita hari ini hanyalah manusia sederhana. Rakyat kita bukanlah sosok yang memiliki kemampuan membaca peristiwa dibalik peristiwa, peristiwa di balik tembok raksasa atau melihat raut wajah buram di balik sebuah tabir seperti yang diutarakan Irving Goodmand dalam paradigma teorinya " Drama Turgie ".
Rakyat kita juga bukanlah politisi yang sadar akan terpeliharanya urusan dan kemaslahatannya kapan saja dan di mana saja. Sebagian besar rakyat kita hanyalah manusia yang mudah terseret oleh pemenuhan kebutuhan sesaat yang membutuhkan pemuasan secepatnya.
Sebaliknya penguasa kita hari ini bukanlah penguasa seperti dalam pandangan teologis. Penguasa kita juga bukanlah aristokrasi para cendekia seperti yang diungkapkan Plato. Penguasa yang ada di sekitar kita hari ini tak jauh panggang dari api dengan penguasa prototipe Niccollo Machiavelli: penguasa yang memiliki sifat penuh ambisi, senang intrik dan keji.
Seorang penguasa yang boleh melakukan apa saja dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Penguasa yang tak segan malih rupa menjadi apapun yang mereka inginkan. Pebisnis yang mencari untung sendiri, diktator yang memaksakan kepentingannya diatas kepentingan umat
serta makelar penjual kemiskinan rakyatnya. Penguasa yang hanya membutuhkan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Penguasa yang sibuk dengan problem dirinya sendiri, dan jarang memahami bahwa kekuasaannya sangat bergantung pada rakyat.
Rakyat dan penguasa kita hari ini memang laksana dua kutub yang berseberangan. Namun sejarah membuktikan, tidak ada penguasa yang bertahan lama ketika mencari untung pribadi dan mengabaikan rakyat. Rakyat dalam kondisi terbodoh sekalipun, masih menyimpan kekayaan ancaman gelombang kekuatan yang tak mudah diredakan oleh penguasa. Mungkin, sekaranglah waktunya bagi penguasa untuk berpikir tentang rakyatnya atau digulung rakyatnya.

Selasa, 27 Mei 2008

''Lapar di Tengah Pesta''


MENANGGIS : Sukak (49) menanggis menuntut pembebasan Kusen satu dari enam warga Desa Terahan Kecamatan Sluke yang ditahan karena dugaan kasus pencurian di areal PLTU Sluke kemarin. Proyek PLTU menyisakan banyak konflik sosial yang harus segera diselesaikan.

Setiap pagi selama satu setengah tahun dari teras rumahnya yang terletak di jalur pantai utara (pantura), Sofyan (33) warga Desa Leran Kecamatan Sluke hanya bisa memandang ratusan orang - yang sebagian besar berasal dari luar Rembang - berderak-derak memasuki pintu checking point Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Anggota Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (FMPL) Desa Leran itu hanya bisa ngrantes menyaksikan wajah-wajah pekerja mega proyek yang menelan dana ABPN sekitar Rp5,6 triliun itu berkeliaran di sekitar rumahnya.
Tergiang kemudian olehnya sebuah janji tertanggal 11 Desember 2006 yang ditandatangani oleh Project Director PLTU Sluke Soelijanto Hary Poernomo. ''Tenaga lapangan yang diperlukan selama pelaksanaan proyek, diprioritaskan pemberdayaannya dari masyarakat yang terkena dampak langsung dan selanjutnya yang terkena dampak tidak langsung,'' ujarnya mengutip janji yang ditulis di atas selembar kertas itu.
Namun, janji hanyalah tinggal janji. Selama berlangsungnya pembangunan PLTU, sebagian besar warga sekitar diabaikan dari proyek PLTU. Bahkan, kata Jamil (38) warga Terahan, seorang petinggi proyek berkebangsaan asing dengan arogan menyatakan warga sekitar bodoh. Sehingga tidak layak diterima menjadi tenaga kasar PLTU. ''Kami sangat terhina dengan perkataannya. Ibaratnya kami dipaksanya menjadi penonton bagi pesta besar yang dihelat di rumah kami sendiri. Sedangkan perut kami merasa lapar,'' tutur Sofyan.
Mengais Sisa
Mengutip syair Matsnawi karya Jalaludin Rumi, tidak semua orang bisa bertahan dalam perut yang lapar, enam warga Terahan yaitu Zakim (28), Fuad ( 31), Kusen (31), Fauzi ( 40), Samindar (37) dan Parmin ( 39) berupaya mengais ''sisa-sisa hidangan pesta'' untuk menganjal perut yang lapar. Mereka memulung besi bekas seukuran 20 cm hingga 50 cm yang dibuang pekerja proyek di laut sekitar PLTU. Tanggal 9 April 2008, keenamnya diadukan ke aparat sebagai pencuri besi proyek PLTU oleh si-empunya pesta. Sehari kemudian, ke enam itu ditahan oleh aparat.
Melihat ketidakadilan, bendung kesabaran warga yang tidak memiliki pekerjaan tetap itu jebol. Kemarin mulai pukul 06:00, setelah lama memendam kecemburuan sosial, warga yang meradang turun ke jalan. Dengan puluhan poster, sebuah spanduk, mobil dan tenda, ratusan warga sejak pukul 06:00 ''menyegel'' pintu checking point PLTU. Tuntutan mereka, warga sekitar harus dipekerjakan serta enam orang yang ditahan juga harus dibebaskan.
Aksi yang panas ini tak urung menyeret pelaksana proyek PLTU yang diwakili Hendra Leo (PT Zeelan Priamanaya Tronoh) dan Ir Soeriarso Suryo (Sekretaris Proyek PLTU) ke meja musyawarah dengan warga. Hasilnya, diatas selembar kertas, warga kembali dijanjikan untuk segera dipekerjakan di PLTU. Warga yang ditahan juga dijanjikan untuk mendapatkan penangguhan penahanan. Akankah pembaruan janji dari PLTU ini terealisasi? ''Kami berharap PLTU menghormati janji kali ini. Jangan sampai mereka ingkar lagi. Karena kami sudah tak lagi bisa menahan dendam janji terdahulu,'' tegas Munawir, kepala desa Leran. (Suara Merdeka - Suara Muria 28/03/08)

Senin, 26 Mei 2008

''Sapi - sapi itu Dibiarkan 24 Jam di Ladang''





DIBIARKAN : Sapi milik Rukhani, warga Desa Kaliombo Kecamatan Sulang dibiarkan tanpa penjagaan selama 24 jam di kandang yang terletak di ladang. Warga Kaliombo mempercayai, maling tidak akan berani datang mengambil sapi.



Rukhani (45) merajang dedaunan dengan lincah. Setelah cukup lembut, warga Desa Kaliombo Kecamatan Sulang itu kemudian mencampurkan dedaunan itu dengan air yang telah disiapkan dalam ember plastik hitam. Matahari sedang terik menancap di ubun-ubun ketika pria yang selalu bertutur kata kalem itu menyodorkan ember plastik hitam itu ke moncong sapi peliharaannya.
Tidak seperti warga desa lain, warga Desa Kaliombo seperti Rukhani memiliki tradisi unik dalam memelihara sapi. Warga desa itu tidak memelihara sapi di lingkungan pemukiman. Justru siang dan malam , sapi-sapi milik warga itu dibiarkan saja tanpa penjagaan di ladang yang memiliki jarak tak kurang 1 KM dari pemukiman. Meski dipelihara jauh dari pemukiman, namun warga mengaku tidak khawatir sapi mereka akan hilang dicuri orang. ''Saya tidak khawatir. Karena meskipun hilang, sapi saya ini pasti akan kembali lagi,'' tutur Rukhani sembari beristirahat memandangi sapinya.
Kebiasaan warga memelihara sapi jauh dari pemukiman ini, bukannya tanpa alasan. Warga mengatakan dengan memelihara sapi di rumah, mengakibatkan pemukiman menjadi kotor. Selain itu dengan meletakkan sapi di ladang, warga mengaku lebih mudah dalam memberi makan dan membersihkan kotoran sapi. ''Makanan sapi tinggal ambil di ladang. Sedangkan kotorannya bisa cepat diangkut untuk pupuk,'' tutur Leles (38), warga lainnya.
Dijaga Danyang
Alasan lainnya yang membuat warga mantap meletakkan sapinya di ladang adalah adanya sebuah kepercayaan yang menyatakan sapi-sapi itu dijaga oleh danyang (penjaga desa-red). Keberadaan danyang itu, kata Sungkono (40), dipercayai warga melalui cerita turun-temurun. Syahdan, katanya, seorang maling sapi pada suatu malam menyatroni desa itu. Beberapa ekor sapi telah berhasil dibawa oleh si maling. Namun apa lacur maling itu seperti tidak menemukan jalan untuk keluar dari Desa Kaliombo.
Dengan sapi di tangan, maling itu hanya berputar-putar keliling desa hingga pagi menjelang. Maling itu-pun berhasil ditangkap oleh warga. ''Cerita orang-orang tua di desa, maling itu merasa dijerumuskan oleh danyang ke dalam danau luas setiap kali hendak melangkah keluar dari desa. Sehingga maling itu tidak bisa keluar dari Desa Kaliombo,'' tutur Sungkono sembari mengutarakan saat ini seringkali sapi yang sudah dicuri orang bisa kembali.
Entah hanya kebetulan atau bagaimana, cerita dari mulut ke mulut itu sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Di sekeliling ladang yang juga menjadi kandang bagi ratusan sapi milik warga itu akan segera didirikan embung seluas 50 hektare dengan air yang melimpah ruah. Hanya saja pertanyaannya kini, akankah danyang Desa Kaliombo akan membantu warga seandainya terjadi proses pembebasan tanah embung merugikan warga? Wallahuallam (Suara Merdeka - Suara Muria/25/3/08)

Jumat, 23 Mei 2008

''Luka Kecil di Badan Tak Usah Dirasa''


KERUK KRICAK : Warsih bersama tiga orang rekannya tengah mengeruk kricak di tengah terik sinar matahari kemarin. Buruh tambang perempuan di Desa Sendangwaru Kecamatan Kragan ini mendapatkan upah Rp 12.500/ hari.



Jari-jari tangan Warsih (40) bukanlah begu besi yang tak bisa terluka. Tak urung, ketika digunakan mengeruk tumpukan kricak tajam yang menggunung di depannya, jemari warga Dukuh Kropoh Desa Sendangwaru Kecamatan Kragan itu luka disana sini. Namun seperti tikus tanah buruh tambang perempuan itu terus mengeruk batu kricak, tanpa mempedulikan luka ditangannya. ''Jaman susah begini, luka kecil di badan tak usah dirasa. Yang penting, api dapur terus menyala dan beras untuk keluarga selalu ada,'' bisiknya lirih.
Warsih mengaku pekerjaan mengeruk kricak telah dilakoninya selama beberapa bulan belakangan. Sebelum bekerja mengeruk kricak di pertambangan milik Hasan dan Nur Hasanah itu, dia mengaku bekerja serabutan sebagai pengumpul batu kricak di pertambangan Bong Cino Desa Sendangwaru selama puluhan tahun.
Saat di Bong Cino, dia mendapatkan bayaran tak kurang dari Rp 400 untuk setiap engkrak (keranjang-red) besar batu yang dikumpulkannya ke pengepul. Namun karena dianggap merusak lingkungan, pertambangan Bong Cino itu akhirnya ditutup oleh Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten pada tahun 2007 itu. ''Saat di Bong Cino, mendapatkan Rp 20.000 sehari sangat gampang. Tapi, setelah Bong Cino di tutup, saya hanya diupah Rp 12.500 oleh juragan untuk kerja mengeruk kricak dari jam 08:00 hingga jam 16:00,'' ujar istri dari buruh tani Sukadi (45) ini.
Berpikir Keras
Dengan upah Rp 12.500/hari ditengah melangitnya harga sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) akibat kenaikan BBM, Warsih mengaku harus berpikir ekstra keras agar kendhil keluarganya tidak ngguling.
Dia mengaku dengan upah itu, hanya cukup untuk membeli beras dan memberi sedikit uang saku bagi dua anaknya yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). ''Dari upah yang saya terima itu, yang paling utama harus dibeli adalah beras. Kalau beras sudah ditangan, hati ini sudah ayem. Sedangkan lauknya, didapat dari upah mburuh tani suami saya,'' katanya.
Meski tergolong sebagai buruh dengan penghasilan yang sangat kecil, namun dia mengaku tidak termasuk salah satu dari 19,2 jutaan rumah tangga miskin (RTM) penerima bantuan langsung tunai (BLT) 2005. ''Saya tidak tahu kenapa tidak menerima BLT. Mungkin, petugas pendata menganggap saya telah kaya dari kerja mengeruk kricak seperti ini,'' paparnya.
Warsih bukanlah satu-satunya buruh perempuan tambang yang tidak menerima BLT 2005. Empat dari 20-an orang perempuan yang juga bekerja di pertambangan Desa Sendangwaru mengaku juga tidak menerima BLT. ''Kalau bisa, tahun ini kami ingin dapat BLT,'' kata Wasikah (44), buruh tambang perempuan lainnya. (Suara Merdeka/ Suara Muria 23/05/08)